Jakarta – Gula, yang dikenali karena rasanya yang manis, simpan cerita gelap dibalik keelokannya. Semenjak jaman kuno, gula sudah jadi lambang kekayaan dan kekuasaan, tetapi penganiayaan dan kesengsaraan. Kristal gula yang kita cicipi ini hari adalah saksi dari sejarah panjang perbudakan dan penjajahan.
Pada era ke-16, Eropa pertama kalinya rasakan manisnya gula, yang dibuat dari tebu yang ditanamkan di koloni baru di Karibia dan Brasil. Tetapi, keuntungan yang didapatkan tidak tiba tanpa harga yang lebih tinggi. Nyawa beberapa budak yang dicuri dari Afrika jadi taruhannya. Tiap butir gula memiliki kandungan cerita kesakitan dan kehilangan dari beberapa orang yang bekerja di bawah panas matahari untuk penuhi gairah kekayaan beberapa penjajah.
Sejarah gula diawali jauh sebelumnya. Di tahun 327 SM, Alexander Agung temukan tebu di lembah Sungai Indus di India. Tetapi, baru pada era tengah, gula jadi barang sangat jarang dan eksklusif di Eropa, dikenali sebagai “emas putih” oleh beberapa bangsawan. Perdagangan gula semakin makin tambah meluas saat bangsa-bangsa Islam di Timur tengah meningkatkan mekanisme agrikultur tebu, dan sepanjang Perang Salib pertama di tahun 1096 Masehi, gula mulai dikenali lebih luas di Eropa.
Era ke-15 mengidentifikasi peralihan besar dalam sejarah gula, saat Portugis dan Spanyol mengawali uji coba perkebunan tebu di Madeira dan Kepulauan Canaria. Christopher Columbus bawa tebu ke Amerika dan Karibia, yang memacu pengembangan besar produksi gula. Ini mengawali zaman penjajahan yang beringas, di mana warga asli Amerika dan beberapa orang Afrika diperbudak untuk penuhi keperluan tenaga kerja di perkebunan tebu.
Sepanjang masa ini, sekitaran 15,empat juta orang Afrika diperbudak dan dipaksakan bekerja di perkebunan gula. Pelayaran Atlantik, dikenali sebagai “Middle Passage”, ialah perjalanan menakutkan di mana beberapa orang tidak selamat. Perbudakan mengambil kehidupan warga asli Amerika, lebih dari lima juta orang yang tertekan oleh kolonialisasi.
Di Pulau Madeira, Portugis meningkatkan mekanisme kapitalisme baru dengan manfaatkan tenaga kerja budak untuk memproduksi gula. Sepanjang era ke-15 dan ke-16, Madeira jadi pusat produksi gula, tetapi dengan imbas lingkungan yang lebih besar, termasuk pembabatan rimba.
Dengan usainya perbudakan di tahun 1865, produksi gula alami peralihan dari tenaga kerja budak ke karyawan kontrak. Walaupun mekanisme perbudakan dihapus, banyak sisa koloni tetap tergantung pada tenaga kerja murah. Di era kekinian, gula jadi komoditas global yang memengaruhi skema makan dan kesehatan di penjuru dunia. Konsumsi gula naik di beberapa negara maju, walaupun sejarahnya sarat dengan ketidakadilan sosial dan penjajahan.
Cerita gula ialah peringatan akan harga yang dibayarkan untuk kemewahan dan perkembangan. Tiap gigitan gula yang manis harus dikenang sebagai sisi dari sejarah lebih kompleks, di mana kesengsaraan dan penganiayaan terikat secara manisnya kemewahan.