Jakarta – Di tengah-tengah pegunungan yang membubung tinggi di Asia Tenggara, antara lembah-lembah yang diselimuti kabut dan hutan-hutan rimbun, ada suku Aha—sebuah suku sebagai peninggalan saat lalu yang tidak tergoyahkan. Mereka ialah penerus dari sebuah adat yang sudah berjalan sepanjang beratus-ratus tahun, hidup sesuai dengan alam, dan menjaga kekayaan budaya yang tidak ternilai.
Tiap hari, matahari keluar bawa narasi baru untuk beberapa orang Aha. Beberapa rumah bambu mereka berdiri dengan kuat, seakan berbisik ke beberapa dewa. Dengan baju tradisionil yang penuh warna, mereka menari dalam irama kehidupan yang sudah diturunkan dari angkatan ke angkatan. Tarian ini mengutarakan keceriaan, duka cita, dan keinginan. Setiap simpul kain dan tiap skema yang dibuat, terselinap cerita-kisah dari masa silam yang tetap terus menggema sampai ini hari, mengingati kita pada kemampuan dan ketahanan suku Aha yang hebat.
Sekitaran 15 era lalu, leluhur mereka yang dari Propinsi Yunnan mengawali perjalanan panjang, beralih-pindah ke beragam wilayah, diumbang-ambingkan oleh gelombang perang dan perselisihan. Sekarang ini, dengan populasi yang diprediksi capai sekitaran 400.000 jiwa, suku Aha menyebar luas di beberapa tempat, dari desa-desa kecil di daratan tinggi pegunungan Thailand, Myanmar, Laos, sampai Propinsi Yunnan di Tiongkok. Mereka memproses tanah dan memiara peninggalan mereka sebagai warga minoritas, menggambarkan narasi peradaban yang sudah bertahan lewat ujian waktu dan sejarah.
Sebagai pemelihara religius yang sudah berpijar semenjak jaman leluhur, adat suku Aha tidak di turunkan lewat guratan pena di kertas, tetapi lewat kata-kata yang diucap dari 1 angkatan ke angkatan selanjutnya. Walaupun mereka dikenali beberapa agama besar seperti Kristen atau Buddha, tetapi keyakinan beberapa orang Aha ialah gestur iman yang ikhlas ke beberapa roh yang mereka percayakan akan menuntun dan membuat perlindungan mereka dari semua halangan.
Desa-desa suku Aha berdiri sebagai saksi atas kombinasi di antara masa silam yang agung dengan saat ini yang terus berkembang. Arsitektur dusun mereka bervariatif, dimulai dari rumah rendah yang sederhana berdiri kuat di atas tanah, sampai rumah tinggi yang menawan terangkut di pentas kayu. Tiap pojok dusun Aha ialah realisasi dari penyesuaian dan ketahanan.
Dalam dusun, beberapa rumah dipisah berdasar gender, membuat ruangan keramat dan individu sekalian ruangan bersama sebagai pusat kehidupan komunal. Di tengah-tengah dusun berdiri ayunan dusun bertiang empat, sebuah monumen kesuburan yang dibuat tiap tahun oleh sesepuh dusun sebagai persembahan ke nenek moyang dan keinginan untuk panen padi yang berlimpah. Disamping itu, pada pintu masuk dusun, gerbang yang dibuat sulitnya berperan sebagai perlindungan dari arwah jahat dan satwa liar, menjaga kesetimbangan di antara dunia yang sama-sama bersebelahan.
Pertanian bukan sekedar mata pencarian untuk suku Aha; ini ialah kehidupan. Walau bayangan masa silam selalu berasa, mereka masih tetap berusaha untuk menyesuaikan dengan tipe pertanian subsisten. Di sejumlah dusun, pengembangan dalam mekanisme irigasi sudah memungkinkannya sawah-sawah untuk menghijau selama setahun. Walaupun demikian, praktek beralih-pindah tempat untuk buka tempat pertanian baru tetap digerakkan, walau sekarang terbatasi oleh peraturan pemerintahan.
Hewan peternak seperti babi, ayam, bebek, kambing, sapi, dan kerbau ialah teman dekat yang memberi nilai ekonomi penting. Beberapa anak suku Aha menggembalakan beberapa hewan ini, belajar mengenai tanggung-jawab dan keterhubungan dengan alam. Beberapa wanita kumpulkan tanaman dari rimba sekitaran, manfaatkan sumber daya alam untuk makanan dan obat tradisionil.
Pernikahan pada suku Aha bukan sekedar ikatan dua individu, tetapi aturan sosial yang dalam, di mana poligami dibolehkan dan pernikahan dapat memiliki sifat endogami atau eksogami. Kelahiran kembar tetap dipandang seperti masalah arwah, sebuah keyakinan yang gelap dari masa silam.
Semenjak tengah era ke-20, tuntunan Kristen mulai menyerap ke kehidupan suku Aha, membuat desa-desa Kristen yang terpisahkan. Walaupun banyak yang beralih agama, keyakinan tradisionil Aha masih tetap hidup. Serasi di antara doa dan mantra, nyanyian gereja dan tarian ritus, Alkitab dan narasi nenek moyang bersatu jadi satu di kehidupan mereka.
Suku Aha ialah bukti riil ketahanan budaya di tengah-tengah peralihan jaman. Mereka terus menggambarkan narasi peradaban yang kaya, mengajari kita mengenai kemampuan, penyesuaian, dan serasi dengan alam.
#SukuAha, #BudayaTradisional, #AsiaTenggara, #WarisanBudaya, #KehidupanSelarasAlam, #TradisiUnik, #SejarahAha, #AdaptasiBudaya, #KehidupanDesa, #PertanianTradisional
Suku Aha, Budaya Tradisionil, Asia Tenggara, Peninggalan Budaya, Kehidupan Alam, Adat Unik, Sejarah, Penyesuaian Budaya, Kehidupan Dusun, Pertanian, Kehidupan Komunal, Keyakinan Tradisionil, Kristen, Yunnan, Thailand, Myanmar, Laos, Tiongkok