Mitos Tentang Malam Pertama Tidak Berdarah Tidak Perawan

  • Whatsapp
Gadis Dibawah Umur Asal Bitung Dijual seharga 500rb, Mucikari Ditangkap
Foto hanya Ilustrasi (Dok : IstockPhoto

Dari persoalan ini Anda tergantung pada pengertian “perawan” menurut kakak Anda dan suaminya sendiri. Apa pengertian perawan ialah wanita yang tidak pernah berhubungan seks benar-benar, atau definisinya hannya sekadar selaput dara saja?

Dilnasir Alodokter, Selaput dara ialah kulit tipis yang merentang dalam vagina. Saat selaput dara robek, dapat memunculkan pendarahan. Ini lah sebagai Mitos jika malam pertama bisa terjadi pendarahan waktu melakukan hubungan intim. Kenyataannya, selaput dara dapat robek karena hal-hal lain tidak cuma karena jalinan intim. Selaput dara bisa jadi robek saat sebelum menikah karena olahraga terlalu berlebih, split, naik sepeda, luka, pemeriksaan dalam, masturbasi. Selain itu, sejumlah wanita malah mempunyai selaut dara lebih plastis hingga tidak gampang robek pada jalinan intim yang pertama kalinya.

Bacaan Lainnya

Oleh karenanya, keperawanan wanita tidak dapat diukur dari ada atau tidaknya darah di waktu malam pertama. Cukup banyak wanita perawan yang tidak berdarah waktu terkait dan hal itu normal. Salah satu langkah untuk ketahui keperawanan saat sebelum menikah dengan pernyataan yang jujur dari wanita, dari pria. Memang bisa saja dilaksanakan pemeriksaan selaput dara oleh dokter, tapi sama seperti yang diterangkan di atas, selaput dara dapat robek tidak cuma karena jalinan intim saja, tapi bisa juga karena hal yang lain.

 

Virginity, masih relate-kah sekarang ini?

Keperawanan diartikan sebagai keadaan seorang wanita yang tidak pernah lakukan hubungan seks. Pada umumnya ini diikuti intaknya himen atau selaput dara (Saraiya, 2019) yang bisa ditunjukkan ada pendarahan saat hubungan seks pertama kalinya sesudah pernikahan. Virginity atau keperawanan bukan terminologi klinis dan ilmiah, tetapi lebih di hasil bentukan dari sosial, kultural dan religius (WHO, 2018).

Dikutip situs sah Kemenkes, Demikian keutamaan nilai keperawanan ini, di suatu warga tertentu hingga ini harus ditunjukkan berbentuk ada bintik darah disprei (blood on the sheet) sesudah malam pertama, bila ini tidak berhasil ditunjukkan karena itu faksi keluarga pengantin lelaki memiliki hak menuntut penangguhan pernikahan (Parth, 2018). Ini benar-benar membuat malu dan bikin rugi wanita, benar-benar terang ketidak- adilan gender dengan memakai patokan pendarahan pada hubungan seks pertama kalinya dengan pembuktian status keperawanan (The Week, 2019).

Keperawanan sebuah kebanggaan dan kehormatan untuk seorang wanita dan keluarganya. Dalam warga Arab, seorang gadis yang diketahui tidak perawan kembali di waktu malam pertama pernikahan akan membuat malu keluarga. Ia mungkin mau dibunuh oleh saudara laki, paman atau ayahnya sendiri untuk “bersihkan noda”. Walaupun pembunuhan ilegal, tetapi aktor dapat bebas karena tradisi istiadat suku yang memicu hal itu benar-benar kuat (Hegazy and Al-Rukban, 2014).

Ide keperawanan yang dibuat oleh faktor sosial, budaya dan agama sering malah bias gender dan bikin rugi wanita. Faksi wanita sering tidak memiliki daya karena ada penilaian keperawanan dari ada atau tidaknya selaput dara dan Mitos jika harus ada darah di waktu malam pertama, dan faksi laki – laki tidak harus alami pembuktian akan ini.

Himen menunjukkan kemurnian seorang wanita, di mana kerangka sosiokultural dan agama masih junjung tinggi nilai ini khususnya di negara – negara Timur tengah, Asia dan negara – negara Muslim yang lain (Matswetu and Bhana, 2018). Walaupun ide virginity disimpulkan tidak lakukan hubungan seksual saat sebelum menikah bagus untuk lali – laki dan wanita dalam Christianity, Judaism dan Islam, tetapi pada laki – laki hal itu tidak bisa ditunjukkan dengan fisik seperti ada himen pada wanita (Robatjazi et al., 2016).

Himen adalah membran tipis, seperti kulit, tidak memiliki rambut yang melingkari lubang vagina, yang bisa disaksikan pada orifisum vagina saat vagina terbuka, memiliki macam ukuran, bentuk dan kehadiran (Ghanim, 2015). Dalam pengertian jika tiap wanita memiliki himen secara bermacam-macam ukuran dan tidak tiap wanita memiliki himen.

Kehadiran himen sendiri diperhitungkan adalah tersisa dari pembangunan embrio yang sering lenyap atau alami “perforasi” dalam saat kehamilan 5 bulan atau saat sebelum bayi wanita lahir. 1 dari 1000 bayi wanita tidak alami “perforasi” dan utuh s/d lahir, dan tutupi orifisium vagina yang disebut keadaan penyimpangan yang disebutkan himen imperforata (Christianson and Eriksson, 2013). Bentuk umum dari himen berwujud lingkaran dan bulan sabit.

Kehadiran himen secara fisiologi anatomi tidak kelihatan perannya dengan jelas, berlangsungnya robekan pada himen pun tidak mengakibatkan masalah kesehatan, tetapi sama seperti yang sudah dikatakan awalnya himen memiliki peranan secara psikis dan kultural sebagai pertanda keperawanan (Hobday, Haury and Dayton, 1997). Sebuah tesis lain menjelaskan jika himen berperan sebagai perlindungan dari kontaminasi dari fekal atau material lain khususnya di awal saat kehidupan bayi.

Mengenali lebih jauh berkenaan beragam jenis bentuk himen bisa menolong remaja wanita dan pasangan pranikah untuk pahami ide himen dan hubungan dengan Mitos – Mitos keperawanan (Paterson-Brown, 1998).

Mitos – Mitos mengenai kehadiran himen lumayan luas. Beberapa warga yakin jika himen ialah selaput yang tutupi lubang vagina, tetapi kenyataannya himen adalah selaput atau membran yang ada di sekitar atau memutari orifisium vagina. Pada periode pubertas ukuran diameter lubang himen sekitaran 6 mm, walaupun ini tidak sama pada tiap remaja.

Bukti ke-2 berkenaan kehadiran himen ialah jika kemunculan himen akan berbeda sama sesuai umur. Bentuk, ukuran dan elastisitas himen benar-benar bervariatif dan berbeda bersamaan perubahan umur wanita. Di awal saat kehidupan bayi, himen berwujud tebal, warna pink pucat dan mungkin cukup mencolok karena tetap terpengaruhi oleh hormon ibu.

Sesudah umur 3 – empat tahun, himen mulai alami peralihan jadi lebih tipis dan permukaan lebih lembut yang sesuaikan dengan perubahan prepubertal. Pada periode pubertas, dengan dampak hormon estrogen, bentuk himen mulai lebih terang dan elastisitasnya bertambah (Mishori et al., 2019).

Tidak ada atau adanya himen bisa memvisualisasikan apa seorang wanita sebelumnya pernah lakukan hubungan seks adalah salah satunya Mitos yang ada di khalayak luas. Kenyataannya peralihan pada himen tidak selamanya memperlihatkan ada hubungan seks.

Intaknya himen dan “blood on the sheet” di tempat tidur pengantin (yang mengisyaratkan robeknya himen waktu itu) tidak bisa dipakai sebagai tanda virginitas. Sejumlah riset ilmiah menentang asumsi itu dan memperlihatkan tidak terdapat bukti yang memberikan dukungan keyakinan itu. Himen adalah membran yang memiliki vaskularisasi yang sedikit, walaupun membran ini robek, memungkinkan tidak ada pendarahan.

Penetratif yang kasar dan minimnya lubrikasi mungkin mengakibatkan laserasi dinding vagina, ke-2 hal itu kemungkianan besar yang mengakibatkan pendarahan daripada kemungkinan ada trauma pada himen. Kenyataannya dalam beberapa riset pendarahan tidak selamanya terjadi pada hubungan seks pertama kalinya (Whitley, 1978; Loeber, 2014; Stark, 2016).

Test keperawanan sering dipakai sebagai persyaratan untuk masuk pendidikan atau tugas tertentu. Seperti pada Indonesia, persyaratan untuk mendaftarkan jadi seorang polisi wanita atau TNI harus jalani test keperawanan. Demikian pula syarat menjadi istri dari polisi atau TNI harus juga jalani test itu.

Buka baju di muka dokter yang tidak seluruhnya wanita, disaksikan organ intimnya selanjutnya disebut intak atau mungkin tidak himen-nya. Pemeriksaan itu benar-benar merendahkan dan membuat malu seorang wanita. WHO mengeluarkan anjuran untuk hapus ada test keperawanan itu dengan pemikiran ada trauma, diskriminasi dan menyalahi privacy dan kredibilitas fisik seorang wanita (WHO, 2018).

Walaupun dari sejumlah faksi mengatakan jika test keperawanan mempunyai tujuan sebagai standard kepribadian atau watak menjadi seorang polisi atau tentara, tetapi ini tidak selamanya bisa menunjukkan hal itu. Keperawanan tidak selamanya jamin bagusnya watak dan tidak terkait dengan tipe tugas sebagai polisi atau tentara (Harsono, 2014). Sekarang ini diberitakan jika test itu tidak kembali dilaksanakan sebagai syarat, ini pantas dihargai sebagai usaha penghilangan bias gender dalam syarat calon Polisi wanita atau TNI.

Pembelajaran berkenaan Mitos dan bukti himen dan ide keperawanan penting diberikan ke remaja dan pasangan pranikah. Karena sejumlah riset memperlihatkan ada pengetahuan yang tidak pas tentang ini, keperawanan cuma dipandang intaknya himen, tetapi remaja masih tetap lakukan aktivitas seksual selainnya penetratif vagina, seperti oral sex, petting atau anal sex, lalu mereka yang lakukan ini apa masih tetap disebutkan perawan ? (Mehrolhassani et al., 2020).

Bukti yang mengenaskan berkenaan penilaian virginitas banyak terjadi di India dan Afganistan. Pernikahan remaja lumayan banyak muncul karena dampak budaya di negara itu. Status janda sering dipakai oleh remaja di bawah umur 18 tahun. Mereka dicerai oleh suaminya dengan argumen tidak perawan saat menikah.

Ini sudah pasti merusak kehidupan dan masa datang wanita – wanita yang alami ini. Dan masa datang sudah pasti semakin lebih susah buat mereka. Keperawanan bahkan juga jadi agunan hidup atau mati pada budaya Arab (Hegazy and Al-Rukban, 2014), keperawanan tentukan tingginya “mas kawin” di Zimbabwe (Matswetu and Bhana, 2018) dan keperawanan jadi persyaratan masuk lembaga tertentu di Indonesia (Harsono, 2014).

Dengan begitu dapat diambil simpulan jika virginitas tidak sama dengan tidak ada atau adanya hymen, tidak ada atau adanya “blood on the sheet” di saat malam pertama, tapi virginitas ialah kemurnian baik seorang laki – laki atau wanita yang sanggup menjaga dianya tidak untuk lakukan premarital seks. Ide ini sangat penting untuk dimengerti oleh remaja dan pasangan pranikah agar semakin hargai wanita, kurangi bias gender dan membuat perlindungan hak – hak wanita.

Ini akan punya pengaruh saat hadapi calon pengantin yang dikatakan sebagai seorang “perawan” atau seorang “janda” cuma dalam pengertian pernah menikah atau tidak pernah menikah, keinginannya jika seorang wanita entahlah itu yang pernah menikah atau memang belum, masih tetap memperoleh hak yang masih sama, pernyataan yang masih sama dan masih tetap dipandang utuh sebagai seorang wanita yang komplet dengan atau mungkin tidak ada hymen.

Mitos-mitos yang keliru mengenai selaput dara dan keperawanan

Selaput dara jadi fokus perhatian dan kekhawatiran sepanjang beratus-ratus tahun. Bagaimana kita dapat akhiri Mitos masalah selaput dara?

“Apa saya perawan?” seorang menanyakan pada internet, dengan polos, dan mengirimkan ke e-mail Abir Sarras. Sarras tidak percaya bagaimana harus menjawab. Ini pertamanya kali ia dikirimkani “selfie vagina”.

Waktu itu, Sarras ialah admin di halaman Facebook ‘Love Matters’ versus Arab. Akun ini memberikan pembelajaran masalah pertalian cinta dan pendidikan sex dengan bahasa Arab di sosial media.

“Ia menjelaskan ia sebelumnya pernah punyai kekasih. Saat ini ia melakukan pertunangan dan ingin pastikan dianya masih perawan,” kata Sarras. Sarah stop berbicara, dan meringis. “Saya tidak suka kata ini: maftuuha – ia menanyakan apa ia… ‘sudah dibuka’.”

Apa yang sebetulnya ditanya oleh wanita itu ialah apa Sarras bisa menyaksikan selaput daranya, dan dapatkah ia menerangkan apa selaput dara itu masih ‘utuh’.

Pertanyaan ini ada karena penekanan dalam komune untuk menjaga keperawanan, yang yakin jika suaminya dapat menyaksikan bukti keperawanan berbentuk darah.

Test itu dilaksanakan berbentuk yang berbeda; dimulai dari pemeriksaan fisik berbentuk pengukur selaput dara atau kelenturan vagina sampai sprei berdarah yang diharap muncul di ritus malam pernikahan, bahkan juga darah itu dipertunjukkan ke keluarga pengantin.

Walaupun tidak ada dasar ilmiahnya, dan walaupun keperawanan tersebut juga ialah konstruksi sosial tanpa realita biologis, juta-an pribadi di penjuru dunia terus yakin jika sejarah seksual wanita entahlah bagaimana tercantum pada anatominya. Mereka yakin semua wanita cisgender tentu berdarah saat pertamanya kali berhubungan seksual.

Sudah pasti ke-2 hal tersebut tidak betul, tetapi keyakinan itu bisa diketemukan dengan bahasa, agama, dan komune di penjuru dunia.

Pada buku saya dengan judul Losing It, saya coba membuat seperti kartografi Mitos selaput dara. Saya memetakkan beberapa pertanyaan yang disodorkan pada beberapa orang seperti Sarras, di mana dan oleh siapa kepercayaan ini disokong, dan apa ini dikarenakan oleh minimnya riset ilmiah?

Saya temukan banyak riset ilmiah yang menentang Mitos itu. Tapi saya temukan sebuah dunia di mana sejumlah dokter memberikan dukungan ide itu, banyak tubuh legislatif memberi dukungan, dan sering ada pengabaian informasi tepat mengenai selaput dara dalam pendidikan sex di penjuru dunia.

vagina, vaginismus, wanita, jalinan seksualSumber gambar,Science Foto Library
Selaput dara ialah jaringan membran kecil di dekat lubang vagina. Sangat hebat begitu sepotong kecil jaringan yang nampaknya tidak mempunyai tujuan ini dipandang punyai tujuan lain.

Ada banyak pembicaraan antara komune ilmiah mengenai kenapa selaput dara berada di tempatnya. Apa ini tersisa sisa evolusi saat mamalia prasejarah melaju keluar air dan ke darat? Apa untuk menolong bakteri feses supaya tidak masuk ke dalam vagina saat bayi? Tidak ada yang betul-betul tahu.

Untuk kami yang mempunyai vagina, selaput dara dapat benar-benar bervariatif. Cuma sedikit dari kami yang dulu pernah menyaksikan grafik yang memperlihatkan beragam kemungkinan memiliki bentuk.

Beberapa orang secara salah yakin jika selaput dara tutup vagina. Oleh karenanya, maknanya wanita tidak bisa menstruasi (benar ada orang yang punyai keadaan semacam ini hingga perlu hymenectomy untuk buka alirannya).

Kebalikannya, beberapa selaput dara berwujud annular atau bulan sabit, secara beragam ketipisan dan ketebalan.

Sebagian dari kita akan dikasih tahu jika memiliki bentuk bisa berbeda bersamaan pertambahan umur, jika beberapa dari kita memanglah tidak dilahirkan selaput dara, atau jika selaput dara mungkin dapat betul-betul lenyap di saat kita masuk kedewasaan seksual.

Beragam jenis kegiatan dapat meregangkan atau menyobeknya, dari olahraga, masturbasi sampai, ya, sex dengan penetratif.

 

Tetapi ini tak berarti kegiatan seksual dapat ditegaskan pemeriksaan selaput dara.

Study lain tahun 2004 temukan jika 52% gadis remaja yang aktif secara seksual yang diinterviu “tidak menyaksikan peralihan yang bisa dideteksi pada jaringan selaput dara”.

Keyakinan jika cuma ada dua opsi: yakni orang yang aktif secara seksual tentu tidak mempunyai selaput dara, atau orang yang sebelumnya tidak pernah berhubungan seks tentu selaput daranya utuh, ialah tidak tepat.

Darah pada seprai–jenis test keperawanan yang dipakai di semua dunia–juga didasari pada keyakinan yang keliru. Sejumlah wanita mungkin punyai selaput dara yang berdarah saat pertama kalinya diregangkan, bila dilaksanakan dengan mendadak atau mungkin tidak santai. Tetapi darah memungkinkan keluar karena gesekan pada dinding vagina karena sex yang dipaksa atau mungkin kurang pemulasan.

Pendarahan dari sex pertama kalinya mungkin terjadi atau pun tidak terjadi, sama dengan kemungkinan pendarahan saat sex yang lain.

Argumen pendarahan waktu berhubungan seksual diantaranya karena kuatir, tidak seutuhnya terangsang atau ada masalah, seperti infeksi. Saat seorang dokter kandungan mensurvei 41 partnernya, apa mereka berdarah pertama kalinya berhubungan seksual atau mungkin tidak, 63% menjelaskan tidak.

Tetapi di beberapa negara yang tetap junjung tinggi keperawanan dan menjaga seksualitas wanita, cuma sedikit ada ruangan untuk bukti biologis ini.

Study tahun 2011 di Dicle University, Turki, temukan jika 72,1% pelajar wanita dan 74,2% pelajar lelaki yakin jika selaput dara menyimbolkan keperawanan. Sekitar 30,1% pria mengatakan jika “sprei bernoda darah” harus dipertunjukkan ke keluarga di hari pernikahan.

Ini bisa berpengaruh besar pada akses kesehatan seksual yang positif untuk wanita. Keyakinan ini bisa menghambat wanita mengeksploitasi jati diri seksual mereka dan mengakibatkan kekhawatiran sekitar sex.

Sebuah study sosial di Giza, Mesir, temukan jika beberapa wanita yang diinterviu merasa kuatir dan takut saat sebelum malam pernikahan. Mereka merasa sakit dan cemas sepanjang malam pertama dan sesudahnya, karena keyakinan sekitar keperawanan dan selaput dara.

Dalam survey mahasiswa Libanon tahun 2013, nyaris 43% wanita yang diinterviu menjelaskan tidak lakukan hubungan seksual pranikah karena takut tidak berdarah saat malam pernikahan.

Study lain dari Libanon, ini dari tahun 2017, temukan jika dari 416 wanita yang diinterviu, 40%-nya memberikan laporan lakukan sex anal atau oral supaya selaput dara mereka utuh saat menikah kelak.

Dalam riset saya, saya temukan posting online yang tidak terhitung jumlahnya masalah wanita yang ketakutan jika masturbasi dapat membuat kehilangan selaput dara. Banyak pula yang benar-benar takut sentuh diri sendiri hingga sebelumnya tidak pernah melakukan.

Mitos selaput dara bukan hanya memengaruhi kesejahteraan seksual wanita serta kesetaraan, tetapi juga menghalangi akses wanita pada keadilan.

Pakistan belakangan ini larang test keperawanan untuk beberapa penyintas pemerkosaan dalam beberapa kasus pengadilan; sejumlah negara, khususnya di Asia, Timur tengah dan Afrika utara dan selatan, tetap melakukan.

Banyak dokter di penjuru dunia tawarkan pembaruan selaput dara yang benar-benar memberikan keuntungan, sebagai operasi untuk wanita yang sudah lakukan hubungan seksual pranikah dan takut akan resikonya bila kedapatan.

Saat menulis buku saya satu tahun saat sebelum politikus memilih untuk larang proses ini di Inggris, pada Januari 2022, saya mengirimi e-mail ke pakar bedah London mengenai test keperawanan.

Pendampingnya memberitahu jika saya bisa memperoleh laporan klinis yang memverifikasi apa saya punyai selaput dara yang utuh sesudah diskusi sebesar £300 (Rp5,tiga juta). Operasi pembaruan selaput dara dipandang sebesar £5.400 (Rp96 juta).

Karena undang-undang yang hendak larang pembaruan selaput dara di Inggris jalan lewat parlemen, terang sejumlah pakar bedah bertahan sampai akhir, tetap tawarkan service di Inggris.

Lewat cara online, seorang pakar bedah London mengeklaim jika pembaruan selaput dara mungkin “berguna untuk wanita yang mungkin alami kerusakan vagina karena hubungan seks atau kegiatan fisik yang berat”. (Bila selaput dara tidak mempunyai tujuan biologis, apa faedah operasi agresif di tempat itu ?)

Kepalsuan berkembang di website klinik-klinik di penjuru dunia. “Hymenoplasty dilaksanakan untuk kembalikan keperawanan pasien,” kata seorang pakar bedah Lebanon. “Hymenoplasty ialah rekondisi selaput dara ke kondisi ‘perawan’ aslinya,” kata pakar bedah di New York.

Jadi bagaimanakah cara akhiri Mitos selaput dara?

Menebarluaskan beberapa hasil riset di atas menjadi awalan, selanjutnya mengganti praktek hukum yang memberikan dukungan test keperawanan dan menghambat supaya professional kesehatan tidak menyimpang orang.

Permasalahannya ialah banyak dari beberapa ide ini bukan hanya dimasukkan dari angkatan ke angkatan; tetapi juga disokong beberapa nilai yang tidak selamanya memerlukan atau mengaku apa yang disebutkan sains.

Buat mereka yakin pada ide budaya mengenai keperawanan dan memberikan dukungan ketidaksetaraan gender di belakangnya, harus ada peralihan sosial besar untuk membikin mereka mengganti gagasannya.

Sebagian orang yakin jika salah satunya langkah untuk akhiri Mitos ini dengan mengganti nama selaput dara. Ini kelihatannya gagasan yang baik, ingat banyak sekali bahasa yang harfiah menyebutnya “membran keperawanan”, termasuk bahasa Arab dan Ceko.

Memang, riset temukan jika menukar nama selaput dara mungkin betul-betul bisa mengganti pemahaman.

Di tahun 2009, Federasi Pendidikan Seksualitas Swedia memilih untuk mengganti kata mödomshinna atau “membran keperawanan” jadi slidkransatau “cincin vagina”,

Kata ini dipakai di mana saja: brosur service kesehatan seksual, media massa, tubuh rencana bahasa sah Swedia dan dalam semua komunikasi federasi di masa datang.

Nyaris sepuluh tahun selanjutnya, periset Karin Milles merasakan jika 86% professional kesehatan yang disurvey sudah memakai kata “cincin vagina” di klinik dan lawatan kelas mereka.

Sementara cuma 22% anak muda yang dulu pernah dengarnya, semakin sedikit yang memperlihatkan pertanda menyaksikan selaput dara secara patriarki tradisionil. Banyak yang masih belum pasti memakai kata baru itu, tetapi tetap tirukan frasa seks-positif dari brosur federasi.

Dari sedikit yang mengetahui kata baru, sebagian besar memvisualisasikan mödomshinna sebagai “Mitos”. Lainnya mengatakan jika “itu tidak ada”. Dan banyak yang menjelaskan ide itu telah tua atau suatu hal yang mereka yakin awalnya, di periode kanak-kanak atau saat sebelum tahu jika itu berbohong.

Perubahan bahasa tidak ada dalam tadi malam, tapi ini ialah permulaan. Ada beberapa pengajar sex di dunia menggunakan bahasa Inggris yang yakin jika kita harus juga adopsi cincin vagina.

Kata hymen tersebut asal dari dewa Yunani kuno, Hymen -dewa pernikahan- dan Mitos sekitar membran sudah mencemari makna kata itu sendiri.

Tapi orang Swedia sukses melakukan karena mereka bukan hanya mengganti kata; tetapi juga menerangkan kenapa mereka mengganti kata itu ke golongan muda dan professional klinis.

Pemerintahan di penjuru dunia nampaknya makin berminat untuk larang praktek seperti test keperawanan dan pembaruan selaput dara. Mere semakin lebih arif bila argumen larang test keperawanan diberikan di ruangan kelas dan ruangan kuliah.

Dengan demikian, kita mungkin tidak pernah biarkan Mitos beresiko ini ada kembali.

Artikel berikut diadopsi dari buku ‘Losing It: Seks Education for the 21st Century’ oleh penulis dan wartawan Sophia Smith Galer.Versus bahasa Inggris dari artikel berikut,The seks myth that’s centuries oldbisa Anda baca di lamanBBC Future.

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *